Pakaian panghulu dalam adat Minangkabau memiliki meronim, atau komponen-komponen, yang masing-masing memiliki makna simbolis mendalam. Salah satu bagian utama adalah saluak, sejenis ikat kepala yang terbuat dari kain batik Jambi. Saluak melambangkan kebijaksanaan dan kehormatan seorang panghulu sebagai pemimpin adat. Bentuknya yang berlekuk-lekuk mencerminkan kemampuan seorang panghulu dalam menghadapi berbagai persoalan hidup dengan ketenangan dan kebijaksanaan.
Bagian lain yang tak kalah penting adalah baju gadang, yang sering disebut sebagai pakaian “gala”. Warna hitam pada baju panghulu melambangkan kekuatan, kewibawaan, serta keteguhan hati. Sebagai pemimpin adat, panghulu dituntut untuk memiliki karakter yang kuat, siap memikul tanggung jawab, serta mampu melindungi kaumnya. Pakaian ini sering dipadukan dengan kain sandang/salempang yang diletakkan di bahu, sebagai simbol amanah dan tanggung jawab yang diemban oleh panghulu.
Sarawa panghulu adalah celana panjang yang merupakan bagian dari pakaian adat panghulu di Minangkabau. Sarawa ini biasanya berwarna hitam dan terbuat dari bahan kain yang lembut namun kuat, menggambarkan kekuatan, keteguhan, dan ketenangan seorang pemimpin adat. Bentuknya yang longgar memungkinkan gerakan yang bebas, melambangkan bahwa panghulu harus siap bergerak cepat dan tangkas dalam menjalankan tugas-tugasnya, namun selalu dengan sikap yang santun dan bijaksana. Sarawa panghulu juga mengandung makna kesederhanaan, meskipun panghulu memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat, ia harus tetap rendah hati dan tidak sombong. Dengan demikian, pakaian ini menjadi cerminan dari filosofi kepemimpinan yang mengutamakan keseimbangan antara kekuatan, kebijaksanaan, dan kerendahan hati.
Meronim lainnya adalah sisampiang, kain yang dipakai di pinggang oleh panghulu dalam upacara adat Minangkabau. Sisampiang biasanya terbuat dari kain songket yang dihiasi dengan motif tradisional khas Minangkabau. Fungsi simbolis sisampiang adalah sebagai penanda bahwa panghulu bertanggung jawab atas kesejahteraan kaumnya dan siap untuk melindungi adat istiadat serta tatanan sosial yang ada. Posisi sisampiang di pinggang mencerminkan kesiapan panghulu untuk bergerak dan bertindak demi kepentingan masyarakat.
Cawek adalah ikat pinggang yang dikenakan di atas baju panghulu, biasanya terbuat dari kain songket berwarna cerah dan bermotif indah. Fungsi utamanya adalah untuk mengencangkan pakaian panghulu, namun secara simbolis, cawek melambangkan pengikatan diri seorang panghulu terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Penggunaan cawek memperkuat komitmen panghulu dalam menjaga tatanan adat serta menunjukkan sikap yang teguh dalam menjalankan amanah yang diembannya.
Keris panghulu adalah senjata tradisional yang menjadi bagian tak terpisahkan dari busana panghulu. Keris bukan hanya alat pertahanan, tetapi juga simbol kekuasaan, keberanian, dan kebijaksanaan seorang pemimpin. Dalam konteks adat Minangkabau, keris yang diselipkan di pinggang panghulu melambangkan kesiapan mental dan fisik untuk melindungi kaumnya, namun penggunaannya lebih bersifat simbolis sebagai pengingat bahwa kekuatan sejati seorang panghulu terletak pada kebijaksanaan dan kemampuan untuk menyelesaikan konflik dengan adil. (L)